Mimpi Terlahir dari Dunia Mimpi
Temanku bernama Radit sering masuk ke dunia mimpi. Ia bahkan pernah bertemu dengan seorang bidadari di dunia mimpi dan apa yang terjadi. Ia bertemu dengan sosok Chairil Anwar yang kita ketahui sebagai pahlawan sastra. Terkadang Radit sering diajarkan cara menulis dengan baik dan benar bahkan ketika itu saat Radit terbangun dari mimpinya. Sebuah buku yang diberikan oleh Chairil Anwar berada di tempat tidurnya. Semenjak itulah ia bingung, mengapa mimpi itu seperti nyata. Ia merasa sangat mengenal sosok Chairil Anwar.
Hari ini Radit datang dengan segumpal cerita yang
ingin ia sampaikan untukku. Aku sudah berteman lama dengannya, bisa dikatakan
80% dari kehidupannya aku mengetahuinya, tetapi 20% aku merasa ia masih
menyembunyikannya.
“Dimas, sorry
pagi-pagi aku ke sini. Kamu mau mendengar ceritaku bukan?” Tanyanya dengan
wajah polosnya.
“Tentu saja, memangnya ada apa Dit? Sampai-sampai
jam segini kamu datang ke rumahku,” tanyaku.
“Tadi aku bermimpi bertemu dengan Chairil Anwar, aku
tidak hanya diajarkan menulis tapi juga diberikan suatu rahasia besar tentang
diriku,” ungkap Radit dengan logat khasnya.
“Memangnya rahasia apa?” Tanyaku penasaran.
“Tadi aku ditunjukkan sebuah rekaman seperti
rekaman video perjalanan hidupnya. Itu membuatku terharu dan menangis, kemudian
aku bangun dari mimpiku. Ternyata di dunia nyata aku juga menangis, entah
karena apa. Di dunia mimpi aku merasa sedih, tetapi mengapa di dunia nyata
seperti ini aku juga menangis,” jelasnya.
“Sepertinya kamu bisa masuk ke dunia mimpi, tapi
apakah semua yang terjadi di dunia mimpi sangat jelas kamu ingat sampai
sekarang?” Tanyaku lagi.
“Sangat jelas, aku merasa mimpi memang kenyataan
bukan hanya rekayasa. Menurutmu apakah ini sebuah penyakit?” Tanya Radit.
“Lebih baik kamu menanyakan kepada seseorang yang
ada di dalam mimpimu itu. Tapi sepertinya tak mungkin,” jawabku.
“Itu ide yang bagus, aku akan mencoba untuk
menanyakannya,” katanya bersemangat.
“Apakah itu mungkin?” Tanyaku keheranan.
“Apa yang tidak mungkin, thanks sudah mendengarkan ceritaku. Aku pulang dulu ya. Ada janji
dengan orang tuaku. Bye see you,”
ucap Radit kemudian melambaikan tangan.
“Bye,”
aku membalas lambaian tangan Radit dengan wajah kebingungan karena ucapan
Radit.
Bagaimana mungkin dia menanyakan hal itu di dunia
mimpi, apakah dia ingat bahwa ia akan menanyakan hal itu di dalam dunia mimpi.
Temanku ini memang sangat aneh, tapi aku berharap dia selalu dalam lindungan
Tuhan dan tidak mendapatkan bahaya di alam mimpinya itu.
***
Keesokan harinya temanku datang lagi ke rumahku,
dia sangat antusias sekali menceritakan pengalaman dalam mimpinya itu. Apalagi
ini musim liburan, tapi dia tetap menyempatkan waktu untuk datang ke rumahku.
Aku senang bersahabat dengannya, dia selalu menepati janjinya walaupun dia ada
halangan untuk menghadiri janji itu.
“Hay Dimas, tadi malam aku menanyakan ke Chairil
Anwar kenapa aku bisa menjadi seperti ini,” katanya mengawali pembicaraan.
“Memangnya karena apa Dit? Aku tak percaya kamu
bisa menanyakan hal itu di dunia mimpi,” tanyaku tak percaya.
“Kamu harus percaya dan jawaban Kak Iril sangat tak
bisa aku duga sebelumnya,” jawabnya singkat.
“Memangnya jawabannya apa? Kamu membuatku
penasaran,” tanyaku untuk kedua kalinya.
“Kak Iril mengatakan bahwa aku adalah titisan dari
Chairil Anwar. Kak Iril juga mengatakan bahwa aku akan menjadi penulis yang
hebat, bahkan lebih hebat darinya,” jawabnya.
“Lalu apakah kamu percaya begitu saja?” Tanyaku.
“Aku masih memikirkan itu. Menurutmu bukannya
titisan itu akan terlahir berdasarkan keluarga kita dulu yang telah tiada ya?”
Tanyanya panjang.
“Hmmm… Bisa jadi, tapi kenapa kamu memanggilnya Kak
Iril? Bukan sebutan yang lebih tua,” tanyaku lagi.
“Kak Iril yang menyuruhku memanggil dengan sebutan
Kak Iril. Entah apa maksudnya, menurutmu aku perlu membicarakan hal ini ke
orang tuaku?” Tanya Radit.
“Lebih baik kamu menanyakan apakah Chairil Anwar
merupakan anggota keluargamu dulu. Jika memang benar wajar kalau kamu sering
bermimpi seperti itu. Tapi kalau bukan, lebih baik kamu menceritakan ini. Siapa
tahu ini ada masalah dengan kesehatanmu,” saranku.
“Idemu fantastic,
thanks God sudah memberikanku sahabat
sebaik dan sepintar Dimas,” kata Radit di depanku.
“Sudahlah, jangan berlebihan seperti itu. Bukannya
memang seperti itu tugas dari sahabat,” lanturku dewasa.
“Kamu dewasa sekali Mas, tak seperti aku
kekanak-kanakan,” ia merendahkan dirinya sendiri di hadapanku.
Kami pun ngobrol sampai jam 10, saking lupanya
sudah jam 10 Radit cepat-cepat berpamitan pulang, karena akan pergi ke rumah
neneknya.
***
Hari ini Radit ke rumah neneknya, sangat pas jika
ia menanyakan hal ini dengan neneknya. Pasti neneknya mengetahui informasi
tentang keluarganya yang dahulu telah tiada.
Setelah Radit sampai di kampung halamannya, tak
lupa ia mencium tangan neneknya. Dia memang anak yang patuh dan sopan, tak
salah jika ia dijadikan ketua kelas. Dia mempunyai sifat yang bijaksana dan
bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai ketua kelas.
“Nek, aku boleh menanyakan sesuatu nggak?” Tanya
Radit mengawali pertanyaan.
“Tentu boleh, memangnya mau tanya apa sayang?”
Sahut neneknya.
“Chairil Anwar itu siapanya kita Nek?” Tanya Radit
polos.
“Nenek belum pernah cerita denganmu tentang
keluarga kita dulu ya. Sekarang nenek akan cerita, dulu itu Chairil Anwar
adalah bagian dari keluarga kita. Beliau adalah kakek buyut nenek. Memangnya
ada apa kamu menanyakan hal itu Dit?” Tanya nenek.
“Begini Nek, Radit sering sekali bertemu dengan
Chairil Anwar di dalam mimpi. Kak Iril mengatakan bahwa Radit akan menjadi
penulis yang besar kelak nanti. Selain itu Kak Iril juga mengatakan bahwa Radit
ini adalah titisannya. Radit juga agak bingung kenapa Kak Iril menyuruh Radit
memanggilnya dengan sebutan Kak Iril. Seharusnya kan kakek, bukan kakak,” jelas
Radit.
“Berarti dulu kamu hidup sebagai Chairil Anwar.
Pantas saja wajahmu sedikit mirip dengan Chairil Anwar. Apalagi pada saat kamu
lahir, nenek seperti melihat Chairil Anwar hidup kembali di dunia ini. Karena
itu nenek memberikan nama Radit Saputra Anwar,” ucap nenek memberikan
informasi.
“Oh jadi begitu ya Nek, terima kasih Nek sudah
menjelaskannya,” kataku mengakhiri pembicaraan.
“Ya sudah, kamu istirahat dulu. Hari sudah mulai
petang,” nasihat neneknya.
“Baiklah Nek, selamat tidur nenekku sayang,” ucap
Radit sambil mencium neneknya sebelum ke kamar.
Radit pun sekarang mengerti maksud dari
mimpi-mimpinya itu, sekarang yang ia pikirkan bagaimana cara menjadi penulis
yang handal seperti Chairil Anwar. Semenjak mimpi itu, ia ingin menjadi penulis
handal seperti Chairil Anwar.
Keesokan harinya Radit bermain dengan sepupunya
yang bernama Andre, Andre sosok yang baik, suka menolong, bahkan ia rela
mengorbankan baju kesayangannya untuk dipakai Radit, karena pada saat itu baju
Radit robek. Dan ini pertama kalinya ia tidak bermimpi tentang Chairil Anwar,
karena selama beberapa hari ini Radit selalu bermimpi tentang Chairil Anwar.
“Andre, apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu,”
sapa Radit.
“Baik Dit, kamu sendiri bagaimana?” Jawab Andre,
sambil menanyakan balik keadaan Radit.
“Baik juga Dre, bagaimana raportmu? Pasti juara 1
lagi kan,” kata Radit.
“Kamu bisa saja, kamu juga mendapatkan juara 1 kan
di kelas? Tadi ibumu mengatakannya kepadaku,” lontar Andre.
“Kita latihan menulis yuk? Sekarang aku senang
banget menulis,” ucap Radit.
“Wah kebetulan kita sama hobby, kita ke tempat belajarku ya. Akan aku siapkan
bahan-bahannya,” tawar Andre.
“Ayo!” Jawab Radit.
Mereka pun belajar menulis bersama, di sela-sela
latihannya mereka juga bersenda gurau.
***
“Hy Dimas, sudah beberapa hari ini
kita tak bertemu ya, kamu liburan ke mana?” Tanya Radit.
“Seperti biasa aku hanya di rumah,
orang tuaku sibuk dengan pekerjaannya. Jika ada waktu kosong baru kami
jalan-jalan, tapi aku sudah terbiasa seperti ini. Ayah dan bundaku biasanya
membayar seorang guru lukis untukku. Seperti yang kamu tahu, aku sangat
menyukai itu. Jadi aku tidak jenuh berada di rumah,” jelasku panjang.
“Jika aku jadi kamu, aku pasti meminta
bunda untuk membayar seorang penulis untuk mengajariku menulis,” lontar Radit.
“Sekarang kamu suka menulis ya Dit?
Kamu sih nggak pernah cerita,”
celetukku.
“Baru-baru ini, belum ada 1 bulan. Aku
terinspirasi dari mimpiku. Aku ingin sekali jadi penulis terkenal seperti
Chairil Anwar,” ungkap Radit.
“Berarti mimpimu itu terlahir dari
dunia mimpimu sendiri dong, waahh
sangat menarik. Aku akan membuat sebuah lukisan tentang pengalamanmu itu,”
kataku.
“Wah ide bagus Mas, aku juga akan
membuat sebuah cerita mengenai pengalamanku. Kemudian kita ikuti lomba, siapa
tahu menang,” kata Radit mengeluarkan idenya.
“Ide bagus, ngomong-ngomong bagaimana
mengenai mimpimu itu? Sudah kamu tanyakan?” Tanyaku.
“Sudah dong, aku menanyakannya langsung dengan nenekku. Dan jawabannya
memang benar Chairil Anwar itu salah satu dari anggota keluargaku. Aku tak
pernah menyangka bahwa Chairil Anwar itu bagian dari keluargaku, bahkan aku ini
titisan Chairil Anwar. Tak pernah kuduga sebelumnya,” jelas Radit.
“Baguslah kalau kamu sudah menemui
titik terangnya, sekarang kamu masih sering bermimpi sosok Chairil Anwar?”
Tanyaku lagi.
“Semenjak di rumah nenek aku tak
pernah bermimpi seperti itu, tapi kalau di rumah nanti aku tak tahu. Tapi aku
sudah terbiasa bertemu dengan Chairil Anwar dari mimpi. Selain itu, aku juga
bisa les gratis dengan Chairil Anwar dalam mimpi,” ungkap Radit.
“Wah… Ternyata gurumu itu juga berada
dalam mimpi ya,” kataku terkagum-kagum.
“Kamu bisa aja, aku pulang dulu ya. Kamu lanjutkan melukisnya, aku mau membuat
sebuah cerpen yang terinspirasi dari kehidupanmu,” ungkap Radit.
“Benarkah? Jadi penasaran, aku tunggu
ya. Kamu juga mesti melihat lukisanku yang berkaitan dengan kamu. Bahkan kamu
harus membelinya,” candaku.
“Aku nggak perlu beli di kamu, minta aja
pasti dikasi,” kata Radit membuatku tertawa.
***
Keesokan harinya aku dan Radit bertemu
di sekolah. Masa liburan telah usai, aku kembali bersekolah seperti biasa. Ini
tidak terasa membosankan, melainkan sebaliknya. Aku lebih bersemangat untuk ke
sekolah karena ingin mengetahui berita dari Radit tentang lomba cerpen dan
lukis tingkat nasional.
“Hy Dimas, ternyata kamu benar-benar
pagi ke sekolah. Kamu pasti tertarik dengan informasi yang akan kuberikan
bukan?” Tanya Radit yang membuat aku penasaran.
“Aku memang tertarik, tapi jika kamu
tidak mau memberi tahu bagaimana lagi,” jawabku dengan mengeluarkan bakat acting-ku.
“Baiklah, kamu memang sangat jago
bersikap seperti itu di depanku. Begini Mas, kamu suka melukis sedangkan aku
menulis. Jadi kamu bisa mengikuti lomba melukis, hadiahnya lumayan lho. Lombanya dilaksanakan 2 minggu
lagi, pendaftaran terakhir 1 minggu lagi. Tidak dipungut biaya apa pun,” Jelas
Radit panjang.
***
Akhirnya aku dan Radit mengikuti lomba
tersebut. Aku berharap ini adalah awal dari kesuksesanku, begitu pula dengan
Radit. Jika aku mendapatkan juara di lomba ini, aku akan mempersembahkannya
untuk orang tuaku. Aku juga meminta restu dengan guru lukisku. Karena berkat
ialah aku bisa melukis lebih baik dari dulu.
“Kamu sudah siap Dimas?” Tanya Radit
ketika kita segera memasuki ruang lomba.
“Siap Dit! Bagaimana denganmu?”
Jawabku, lalu bertanya balik.
“Siap! Semangat, sampai ketemu nanti.
Nanti kalau sudah selesai lombanya kita saling tunggu di sini ya. Sambil nunggu
hasilnya,” katanya.
Kemudian mereka menuju ke ruang
masing-masing. Aku melukis cerita kehidupan Radit, sedangkan Radit membuat
cerpen tentang kehidupanku. Ini sungguh menarik.
Waktu untuk menyelesaikan lukisan maupun cerpen selama 2 jam. Ini waktu
yang sangat pas untukku dan Radit, karena kurang dari ini termasuk waktu yang
cepat. Selang dua jam, aku mengumpulkan
lukisanku begitu pula dengan Radit. Dalam hatiku selalu berdoa untuk
mendapatkan juara. Semoga Tuhan mengabulkan doaku.
***
“Hy Radit, bagaimana tadi cerpenmu?
Berhasil?” Tanyaku.
“Berhasil! Bagaimana denganmu?” Tanya
Radit kembali.
“Berhasil! Ayo kita istirahat. Aku
sudah membawa roti dari rumah, ada juga roti untukmu. Sambil menunggu hasil
lomba,” ungkapku.
Kami pun saling bercakap-cakap
mengenai lomba tadi. Tak kami sangka sudah waktunya untuk mendengarkan
pengumuman.
Pengumuman dimulai dari juara ketiga,
kemudian juara kedua. Tapi namaku dan nama Radit tidak disebutkan dalam juara
ketiga dan kedua. Aku pun berdoa agar aku mendapatkan juara pertama dan
ternyata…
“Juara pertama lomba cerpen tingkat
nasional adalah Radit Saputra Anwar,” begitulah kata pembawa acara.
“Wah selamat ya Dit! Silahkan maju ke
atas panggung,” kataku.
“Dan juara pertama lomba lukis tingkat
nasional adalah Dimas Anggara Putra,” ungkap pembawa acara.
Aku tak menyangka akulah yang
mendapatkan juara, terima kasih Tuhan sudah mengabulkan doaku. Semenjak saat itu
lukisanku banyak dibeli, bahkan lukisanku pada saat lomba dibeli mahal. Aku tak
menyangka mendapatkan semua ini. Tidak hanya aku, Radit sekarang menjadi
penulis cerpen terkenal. Banyak yang menawarinya untuk membuat novel, dengan
tidak mengeluarkan sepeser uang.
Selain itu, aku dan Radit ditawarkan
untuk membuat sebuah buku dengan unsur gambar dan cerita. Itu pasti sangat
menarik, tanpa berpikir panjang aku dan Radit menyetujui hal tersebut. Ini
adalah awal kesuksesanku juga Radit. Aku selalu bersyukur atas semua yang Tuhan
berikan padaku.
Komentar
Posting Komentar